Ketentuan diterapkan di situs kepenulisan.com dalam tautan berikut: Ketentuan

Writer's Block di Era Siber Sastra: Benarkah Popcorn Brain Penyebabnya?

Popcorn Brain mengganggu produktivitas penulis sastra siber? Pelajari dampak distraksi digital pada kreativitas dan writer’s block.

Fenomena Popcorn Brain, Penyebab Writer's Block di Kalangan Penulis Sastra Siber

Writer’s Block di era siber sastra seperti saat ini bukan lagi sekadar masalah gak punya ide atau inspirasi saja.

Menurut saya—sebagai seorang penulis—dan beberapa teman yang saya tanyakan, sependapat bahwa kini mudah sekali menggali informasi dan mencari referensi lewat interaksi di internet. Sehingga, boleh dikatakan kalau kehabisan ide tuh sepertinya bukan sesuatu yang menjadi masalah besar. 

Sekarang, tak dipungkiri lagi kalau ide bisa mudah ditemukan dan dikembangkan dengan melakukan brainstorming bersama kecerdasan buatan.

Walau demikian, problema tetap ada dari kemudahan yang ditawarkan; nyatanya masih saja “ada penghalang” yang menghambat proses kreatif dan produktivitas menulis. Kok bisa, ya? 

Pada proses pra-penulisan artikel ini, saya telah melakukan survei terlebih dahulu dalam bentuk kuesioner, dan telah mengumpulkan jawaban dari 36 responden yang terdiri dari penulis profesional, penulis pemula, dan penulis antusias yang sama sekali tidak saya kenal. Survei saya lakukan ke dua komunitas penulis, yakni: 

  1. Ingin Menjadi Penulis. Namun, Enggan Menulis (IMPNEM) di Facebook, dan 
  2. Grup Chat Whatsapp non-Redaksi Menulis ID.

Dari tanggapan atas kuesioner yang telah saya laksanakan; banyak penulis memberikan tanggapan bahwa kendala teratas dari produktivitas menulis saat ini tuh bukan karena writer's block semata, melainkan karena distraksi.

Dinamika Writer's Block Modern: Distraksi & Popcorn Brain.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata “distraksi” bermakna sebagai hal dan tindakan mengalihkan perhatian. Nah, distraksi saat ini erat kaitannya dengan popcorn brain yang telah menjadi problema penulis digital, di mana kini menikmati proses menulis dan menyelesaikan tulisan kian terasa lebih sulit. 

Popcorn brain menimbulkan gangguan yang kerap kali datang dari rasa tidak nyaman jika tidak mengecek handphone—dalam fokus ini—ketika sedang menulis atau berkarya; yang menimbulkan dorongan untuk mengecek media sosial, hingga kebiasaan multitasking yang justru memperlambat produktivitas. 

Studi oleh Clifford Nass dari Universitas Stanford menunjukkan bahwa kebiasaan multitasking di dunia digital, seperti beralih antara media sosial, cek Whatsapp atau Instagram, dan tugas lain, mengurangi kemampuan otak untuk fokus pada satu hal dalam waktu lama. 

Hal ini berkelindan dengan writer's block, karena menulis membutuhkan konsentrasi, fokus, dan kesabaran tapi terganggu karena popcorn brain. Akibatnya, banyak yang malah terjebak dalam siklus menunda dan beralasan tidak punya atau sedang kehilangan semangat—mood

Sialnya, saya juga mengalami hal ini ketika proses pra-penulisan, proses penulisan, dan bahkan saat proses pasca-penulisan artikel ini. Bayangkan saja, saya perlu waktu sebulan hanya untuk menyelesaikan tulisan yang seharusnya bisa diselesaikan seminggu!

Jadi, jangan khawatir, baik kamu atau saya; kita mengalami fenomena ini; yang tanpa sadar sudah menjadi problema penulis di era sastra siber seperti sekarang ini.

Nah, di sini saya akan menjelaskan pemahaman dan pengalaman saya akan popcorn brain, keterkaitannya dengan writer’s block yang menjadi problema baru para penulis siber sastra, disertai juga dengan cara saya mengatasinya.

Mari berkenalan dulu dengan istilah popcorn brain, sebab dari jawaban yang saya dapatkan atas kuesioner yang sudah saya lakukan, 50% di antaranya tidak tahu istilah ini, tapi mengalami fenomena ini.

Popcorn Brain, Writer's Block, Siber Sastra



Fenomena Popcorn Brain.

Popcorn brain merupakan sebuah kondisi di mana otak terbiasa menerima informasi dalam bentuk secuil berondong jagung yang tidak padat. Banyak, tapi kurang bergizi. Hanya nikmat dan gurih saja.

Ketika penulis mengalami kondisi ini, akan sulit untuk fokus pada satu hal dalam waktu cukup lama karena otak terus mencari stimulasi baru, seperti halnya biji jagung yang dipanaskan, yang terus meletup-letup menjadi berondong.

Dilansir dari situs Forbes, istilah popcorn brain pertama kali diperkenalkan pada tahun 2011 oleh David Levy yang merupakan seorang peneliti di Universitas Washington. Popcorn brain bukan diagnosis medis resmi, melainkan istilah populer yang pertama kali muncul di komunitas daring seperti TikTok dan Reddit untuk menggambarkan pikiran yang "meletup-letup" akibat stimulasi digital berlebihan.

Menurut David Levy, fenomena ini merujuk pada kondisi yang ditandai dengan: 

  1. Sulit mempertahankan fokus.
  2. Perhatian mudah terbagi-bagi, dan
  3. Kecenderungan mudah teralihkan dari satu topik ke topik lain.

Survei dari Forbes yang dilaporkan pada 2024 mengindikasikan bahwa 58% pekerja merasa produktivitas mereka menurun akibat gangguan digital, yang mencerminkan bagaimana popcorn brain bisa menjadi pemicu writer's block bagi penulis yang bergantung pada perangkat digital.

Problema: Pemicu Popcorn Brain dan Dampaknya.

Fenomena popcorn brain tidak timbul tanpa sebab, tentu ada pemicunya. Popcorn brain timbul dari aktivitas di internet yang masif, dan kebiasaan mengonsumsi konten instan seperti video pendek, atau keseringan scrolling tanpa tahu waktu.

Jadi, penyebab utama fenomena popcorn brain adalah algoritma sosial media yang selalu menyuguhkan sesuatu yang menarik, dan setiap kali melihat sesuatu yang menarik, otak melepaskan dopamine, kemudian menciptakan rasa puas instan yang meningkatkan rasa ingin terus mencari. 

Menurut survei yang telah saya laksanakan, saya memberikan pertanyaan, “Kenapa kamu ngabisin waktu sebanyak itu untuk menikmati sosial media?”. Dari pertanyaan tersebut, beberapa responden memberikan jawaban seperti:

  • Mencari ilmu di grup atau meme buat refreshing (untuk menyegarkan otak) dikit, kadang bisa nemu inspirasi juga.
  • Sosial mediaku berisi page dan konten yang menarik terkait pengetahuan umum, pengembangan diri, kepenulisan, dan semacamnya.
  • Dapat update berita dan sesuatu yang viral, mantengin drama sosmed, stalking gebetan.
  • Karena bosan dan mencoba belajar dari sosial media.

Jawaban lainnya, kebanyakan tentang: menemukan inspirasi, mencari informasi, referensi, nyari ide… dan yang menarik, “refreshing”.

Alasan refreshing kerap kali menjadi pemicu. Otak, kebiasaan “disegarkan” dengan konten-konten “berilmu” atau menarik, tapi dengan pemaparan yang tidak kompleks.

Menurut penelitian dari “Accelerating Dynamics of Collective Attention” yang dipublikasikan oleh Nature Communications, menjelaskan bahwa paparan konten digital pendek (misalnya video TikTok) memicu pelepasan dopamine di otak sehingga menciptakan siklus kecanduan terhadap stimulasi instan. Ketika otak terbiasa dengan “refreshing” ini, proses kreatif seperti menulis—yang membutuhkan kesabaran dan refleksi—akan menjadi sulit. 

Alasan ini lah yang membuat kita terpuruk dalam writer's block.

Jika semakin sering terpapar pola semacam itu, otak kita kebiasaan meletup-letup, karena informasi yang didapatkan tidak fokus pada satu pembahasan. Sehingga, semakin sulit bagi otak untuk bertahan dalam tugas yang membutuhkan konsentrasi mendalam.

Popcorn brain berdampak terhadap cara kita berpikir dan produktivitas yang sangat signifikan. Popcorn brain membuat pikiran yang mengalaminya menjadi:

  1. Lebih mudah teralihkan.
  2. Lebih sulit menyusun pemikiran dan pemahaman yang kompleks, dan 
  3. Cenderung kehilangan kesabaran saat menghadapi sesuatu yang membutuhkan usaha lebih. 

Dalam jangka panjang, popcorn brain bisa menurunkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan bahkan motivasi untuk menyelesaikan sesuatu, juga menikmati proses; yang mana, hal-hal tersebut sangat dibutuhkan bagi penulis untuk bisa menghasilkan karya tulis. 

Salah seorang responden dalam survei yang telah saya lakukan memberikan tanggapan, dia menjelaskan kalau:

“... mudah terbagi dengan fokus yang lain, ga sabaran ngetik, pengen cepet pindahin dari kepala ke dalam tulisan tapi cepat ngerasa bosan terus nyari pelarian ke sosial media.”

Dari alasan itu, mangkanya banyak sekali penulis sastra siber yang “menganggap” kalau sedang mengalami writer's block, padahal tanpa sadar mengarahkan diri ke writer's block itu sendiri.

Hal ini selaras dari kesimpulan hasil survei yang saya laksanakan; banyak jawaban yang menjelaskan tentang popcorn brain tapi menyebutnya sebagai writer's block. Dari pemahaman saya, hal tersebut memang bisa disandingkan.

Penyebab Writer’s Block Sebenarnya.

Writer’s block sering dikaitkan dengan kehabisan ide, perfeksionisme, atau kecemasan yang menghambat proses menulis. 

Ada kalanya memang seorang penulis merasa tidak punya inspirasi, takut tulisannya tidak cukup baik, atau terlalu banyak berkelahi dengan pikiran sendiri; sehingga malah membuat si penulis tidak menulis sama sekali. 

Hal ini memang ada, para responden dalam survei yang saya lakukan juga menjelaskan bahwa mereka kerap kali merasa kehabisan ide, buntu, takut, bingung, dan cemas dengan plot. Sehingga menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau karya tulisnya tidak memuaskan pembaca.

Well, ini bisa diatasi dengan bantuan AI. Namun, sialnya… saya sangat benci mengatakan ini, kalau ternyata hal ini justru juga akan menumpulkan kemampuan menulis.

Jadi, writer's block tentu bisa dipengaruhi oleh faktor internal, seperti tekanan diri sendiri atau perasaan tidak cukup percaya diri terhadap hasil tulisan. Salah satu responden dari survei yang saya lakukan menjelaskan kalau writer's block yang sering dialaminya disebabkan karena: 

Burn out, time management, dan stress”.

Akan tetapi, di era digital, writer’s block telah berevolusi menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Distraksi dari notifikasi di handphone yang tiba-tiba muncul, kebiasaan multitasking, dan kurangnya kemampuan untuk menikmati proses, membuat penulis semakin sulit untuk fokus.  

Jadi, saya punya opini pribadi, bahwa perbedaan utama antara writer’s block dulu dan sekarang terletak pada sumber hambatannya. Jika dulu hambatan lebih banyak berasal dari dalam diri dan lingkungan; kini datang dari handphone yang faktanya juga menjadi alat untuk menghasilkan karya tulis itu sendiri. 

Sungguh sangat dilematis. Saya juga mengalaminya. Aarrghhhh!!!

Saya menyimpulkan, bahwa writer’s block di era digital bukan hanya perihal kekurangan inspirasi dan referensi, kehilangan minat, tidak punya bakat, tetapi juga soal bagaimana bisa mengatur diri agar cara kerja otak mampu fokus lebih lama tanpa tergoda untuk terus berpindah perhatian.

Sebab, Studi dari Gloria Mark yang merupakan seorang profesor di Departemen Komunitas, Universitas California pada 2008 lalu menemukan bahwa setelah seseorang terdistraksi, akan membutuhkan rata-rata 23 menit 15 detik untuk kembali ke tugas awal dengan tingkat fokus yang sama. 

Keterkaitan Popcorn Brain dengan Writer’s Block.

Ketika otak terbiasa dengan konsumsi informasi yang konstan dan instan—seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya; kemampuan berpikir perlahan mulai terkikis. Nah, istilah ini disebut sebagai brain rot.

Brain rot disebabkan karena otak menjadi lebih nyaman dengan rangsangan singkat daripada harus bertahan dalam satu aktivitas yang membutuhkan proses.

Proses menulis yang membutuhkan konsentrasi, refleksi, dan kesinambungan ide terasa jauh lebih sulit dibanding sekadar membaca ringkasan atau menonton video pendek. Lebih sialnya, kini eksistensi AI yang seharusnya memudahkan proses menulis, malah menghambat proses menulis. Kok bisa?

Tenang saja. Di sisi lain, AI bisa saja menjadi alat jitu untuk menghasilkan karya tulis dan cara mengatasi writer's block. Namun, di sisi satunya… bisa saja menjadi penyebab utama writer's block.

Popcorn brain secara langsung mempengaruhi kebiasaan menulis, mulai dari kesulitan memulai, mudah terdistraksi di tengah proses, hingga kehilangan kemampuan berpikir. Saat otak terbiasa berpindah dari satu informasi ke informasi lain dalam hitungan detik, duduk diam untuk menulis selama 30 menit saja bisa terasa seperti tugas berat. 

Bagaimana tidak, seperti yang sudah saya jelaskan; diperlukan rata-rata 23 menit untuk bisa fokus—bahkan kembali ke proyek tulisan. Arghhh, ini nyata, loh. Saya mengalaminya sendiri ketika menulis ini. Tepat di titik ini.

Inilah mengapa banyak penulis saat ini merasa sulit menyelesaikan tulisan, karena terus-menerus tergoda untuk mengecek ponsel atau membuka tab lain, karena otak lebih senang mendapatkan “penyegaran” daripada dipaksa bekerja keras.

Menurut studi penelitian yang dilakukan oleh beberapa akademisi dan mahasiswa, menyadur dari jurnal “Evidence on the Role of Digital Technology in Shaping Attention and Cognitive Control” yang dapat diakses dari laman Frontiers menunjukkan bahwa paparan konten digital yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan atensi dan pemrosesan kognitif mendalam.

Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains menjelaskan bagaimana internet mengubah cara kita berpikir, membuat kita lebih dangkal dalam menyerap—walaupun pada faktanya, kita lebih mudah dan lebih banyak menerima—informasi. Katanya, dalam buku tersebut:

“... alat-alat berpikir manusia, seperti bahasa dan buku, selama berabad-abad telah membentuk budaya membaca secara mendalam. Namun, perkembangan teknologi, seperti internet dan mesin pencari, mendorong kita untuk multitasking dan beralih cepat antara berbagai informasi, sehingga melemahkan kemampuan untuk fokus dan merenung.”

Hal ini menjelaskan bahwa writer’s block di era digital bukan sekadar soal kehabisan ide, tetapi juga akibat dari pola pikir yang telah berubah karena kebiasaan mengkonsumsi informasi cepat, ringkas, dan inkomplit.

Alasan yang Bikin Popcorn Brain jadi Penyebab Writer's Block.

Dari hal-hal yang sudah saya jelaskan, sebelumnya. Saya menyimpulkan bahwa ada beberapa alasan kenapa popcorn brain kini menjadi sebuah fenomena, dinamika, dan problematika modern penulis sastra siber yang menjadi penyebab terhambatnya kreativitas, dalam hal ini writer's block:

  1. Kebanyakan Informasi: Setiap hari, tak bisa dipungkiri lagi kalau kita tuh disuguhi banyak info dari segala penjuru—video 15 detik, tweet, story, dan sejenisnyaOtak kita kebanyakan “makan” sampe bingung, sampe gumoh dia. Belum lagi kalau ada gorengan atau hal viral. FOMO banget kalau gak cepet pengen tahu.
  2. Overdosis Dopamin: Setiap notif atau like tuh sebenarnya ngasih otak “hadiah” dopamin, hormon bahagia. Lama-lama, otak jadi kecanduan sama stimulasi cepet ini, dan nulis yang butuh proses lama jadi terasa membosankan banget.
  3. Short Attention Span: Penelitian dari Microsoft Corp., memaparkan kalau orang sekarang umumnya kehilangan konsentrasi setelah delapan detik, ini tuh lebih pendek dari ikan mas yang punya attention span sembilan detik!
  4. Udah Jadi Gaya Hidup: Kita hidup di era digital. Kalau kata Emily Cherkin, seorang spesialis dalam manajemen screentime yang saya kutip dari laman BBC bilang, “Teknologi sangat tertanam dalam hidup, kita menyiapkan diri kita sendiri menuju kegagalan.” Scroll handphone yang niatnya buat mencari mood nulis malah bikin otak “meletup-letup” dan malah membuat jadi susah banget buat bikin kalimat.

Intinya, otak kita jadi kayak popcorn yang nggak bisa diem, dan ini yang bikin kita jadi writer’s block. Parah.

Mengatasi Writer's Block yang Terpicu Karena Popcorn Brain.

Mengatasi writer’s block yang dipicu oleh popcorn brain membutuhkan perubahan kebiasaan, terutama dalam cara berinteraksi dan kebiasaan di internet. 

Perlu diingat, bahwa writer’s block akibat popcorn brain bukanlah suatu pertanda kalau kamu tidak punya bakat atau tidak memiliki kemampuan menulis, bukan pula suatu pertanda kegagalan menjadi penulis, melainkan pertanda untuk menata ulang konektivitas dan aktivitas.

Jadi, berikut ini beberapa cara yang boleh jadi membantu kamu mengatasi writer's block yang muncul karena popcorn brain berdasarkan cara saya sendiri mengatasi hal menyebalkan yang saya alami ketika menulis artikel ini:

Digital Detox

Digital Detox bisa menjadi langkah awal dengan membatasi waktu di media sosial dan mengurangi konsumsi konten instan. Sudah memang cara yang paling bener tuh mulai membatasi kecenderungan.

Coba tetapkan jadwal khusus untuk tidak mengecek ponsel atau gunakan aplikasi pemblokir distraksi, ya mode pesawat ✈ aja, dah; agar otak punya lebih banyak ruang untuk berpikir secara mendalam atau melatihnya buat fokus ketika diajak nulis atau baca.

Latihan fokus sangat penting untuk melatih kembali kemampuan otak dalam berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lebih lama. 

Gunakan Teknik Menulis Bebas dan Pomodoro

Seperti namanya, teknik menulis bebas ini merupakan sebuah teknik di mana kamu menulis apa aja yang kamu pikirkan sebebas-bebasnya dalan waktu yang udah kamu tentukan. 

Ya, kalau kamu memang udah punya outline; coba kombinasikan dengan teknik menulis pomodoro. Jadi, konsepnya tuh kek 15 menit nulis, 15 menit tinjau, 10 menit istirahat, dan 5 menit sunting. Kamu atur sendiri deh interval waktunya. 

Metode Deep Work

Metode Deep Work merupakan suatu konsep yang diperkenalkan oleh Cal Newport dalam buku yang ditulisnya, bertajuk “Deep Work: Rules for Focused Success in a Distracted World”. Metode ini mengarahkan pada kemampuan untuk fokus secara mendalam tanpa gangguan.

Konsepnya tuh sama seperti teknik menulis pomodoro, tapi lebih disiplin dan tegas aja. Saya biasanya pake metode ini untuk menikmati Jumat sore. Sebenarnya, metode ini tuh ngajarin dan maksain kita buat latihan konsisten dan komitmen. Sehingga membuat otak lebih terbiasa untuk tetap berada dalam satu tugas tanpa mudah tergoda untuk beralih ke hal lain.

Komitmen dengan Action Plan.

Kalau sebuah tulisan punya outline atau kerangka tulisan, nah proses menulis itupun nyatanya punya rencana kerja juga. Ini tuh cocok banget buat ngelatih komitmen pada dirimu sendiri dengan menghargai apa yang sudah direncanakan.

Perubahan itu hadir dari cara kamu membiasakan ide yang udah kamu pikirkan, rasakan dan rencanakan menjadi sebuah komitmen dan gaya hidup.

Biasakan Membaca dan Konsumsi Pembahasan yang Intens, Kompleks.

Ayo kembali ke kebiasaan membaca yang lebih dalam supaya membantu melawan efek popcorn brain. Hindari kebiasaan membaca ringkasan atau sekadar scrolling berita singkat, dan biasakan diri dengan bacaan panjang seperti buku atau esai.

Dengan cara ini, otak akan terlatih untuk tetap fokus dalam satu ide lebih lama, yang pada akhirnya akan berdampak positif pada kemampuan menulis.

Kesimpulan

Popcorn brain dan writer’s block di era digital saling berkaitan, karena kebiasaan mengkonsumsi informasi konstan dan instan membuat otak kesulitan untuk berpikir mendalam. Akibatnya, banyak penulis merasa sulit fokus, mudah terdistraksi, dan kehilangan alur berpikir saat menulis. 

Writer’s block bukan lagi hanya soal kehabisan ide, tetapi juga dampak dari perubahan pola pikir akibat paparan teknologi yang terus-menerus.

Karena itu, kesadaran digital menjadi kunci bagi penulis modern agar tetap produktif di tengah derasnya arus informasi. Dengan membatasi distraksi digital, melatih fokus, dan membangun kembali kebiasaan membaca yang lebih dalam, kita bisa melatih otak untuk kembali terbiasa dengan proses berpikir mendalam. 

Ambil kendali dan langkah untuk mengatasi kebiasaan digital dan mulai berani terapkan strategi yang tepat agar menulis tidak lagi terasa sulit, buat dirimu menjadi lebih berharga dengan menghargai proses dan buat kembali proses menulis itu menjadi aktivitas yang mengalir dan menyenangkan.

Bibliografi:

Ketika menyusun kerangka tulisan artikel ini, saya membaca beberapa artikel yang membahas hal-hal yang saya butuhkan dalam pembahasan terkait. Berikut ini, beberapa sumber eksternal yang saya sadur sebagai bahan pelengkap, dan pendukung artikel.

  • Puspa, Hibar Buana. [2023, Mei 29] dalam “Multitasking, Kebiasaan bak Pisau Bermata Dua.”, diakses pada Januari 2025, dari laman Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
  • Travers, Mark. [2024, April 4] dalam “A Psychologist Explains The Rise Of ‘Popcorn Brain’.”, diakses pada Januari 2025, dari laman Forbes.
  • Robinson, Bryan. [2024, Maret 21] dalam “Companies Not Keeping Pace With Hybrid Work Adoption In 2024, New Study Finds.”, diakses pada Februari 2025, dari laman Forbes.
  • Rizal Makarim, dr. Fadhli. [2022, Februari 3] dalam “Kecanduan TikTok Bisa Picu Penurunan Kognitif Otak.”, diakses pada Februari 2025, dari laman Halodoc.
  • Pattinson, Kermit. [2008, Juli 28] dalam “Worker, Interrupted: The Cost of Task Switching.”, diakses pada Februari 2025, dari laman Fast Company.
  • Vedechkina, Maria. dan Borgonovi, Francesca. [2021, Februari 24] dalam “Evidence on the Role of Digital Technology in Shaping Attention and Cognitive Control.”, diakses pada Februari 2025, dari laman Frontiers.
  • Mauludi, Sahrul. [2024, Oktober 16] dalam “Dilema Era Digital: Dahsyatnya Internet Membentuk Pikiran dan Perilaku Manusia.”, diakses pada Januari 2025, dari laman Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3.
  • Epstein, Sophia. [2023, Mei 2] dalam “Apakah masih memungkinkan untuk melakukan 'digital detox' di era digital?” diakses pada Januari 2025, dari laman BBC Indonesia.
  • Booth, Teri. [2021, Maret 27] dalam “How Discipline Gives You More Freedom.”, diakses pada Desember 2024, dari laman Medium.
  • Mcspadden, Kevin. [2015, Mei 14] dalam “You Now Have a Shorter Attention Span Than a Goldfish.”, diakses pada Februari 2025, dari laman Time.
Hendy Jobers, seorang Pak RT di grup Facebook kepenulisan: "Ingin Menjadi Penulis. Namun, Enggan Menulis."

2 komentar

  1. Sepertinya tips menulis ini bisa dijalankan.
    Merencanakan terlebih dahulu kemudian menjalani proses menulis secara berkala.
    Terima kasih pencerahannya.
    1. Senang dapat menginspirasi kamu untuk mencoba tips menulis ✏ yang baru. Terima kasih kembali.
© Kepenulisan.com. Hak cipta. Developed by Jago Desain