Ketentuan yang diterapkan di situs kepenulisan.com dalam tautan berikut: Ketentuan

Ulasan Novel “Prolog” karya Adeliany Azfar: Tipikal Klise.

Ulasan novel bertajuk "Prolog" karya Adeliany Azfar yang Wattpadable banget. Perangkat sastra di dalamnya bantet. Masihkah layak dibaca?
Ulasan novel berjudul Prolog karya Adeliany Azfar

Novel bertajuk “Prolog” karya Adeliany Azfar ini gak ada prolog, dan saya curiga kalau sebenarnya saya sedang membaca sebuah prolog seukuran novel. Hahaha! That's true! Novel ini memang diibaratkan seperti prolog dalam sebuah kisah romansa anak muda. Hanya saja, gak bisa dikatakan seperti itu juga, karena ada epilog-nya. 

Saya bertemu novel “Prolog” yang ditulis Adeliany Azfar ini ketika sedang mempelajari materi kepenulisan novel, sebuah perangkat sastra yang disebut prolog. Tadinya, saya sedang mencari prolog novel untuk dijadikan contoh, tapi malah ketemu novel berjudul prolog ini.

Sebuah alasan klise dari kisah-kisah pertemuan, di mana saya sedang mencari sesuatu dan dipertemukan. But, yeah ~ seperti alasan saya, novel ini juga klise

Informasi Umum:

  1. Judul : Prolog
  2. Penulis : Adeliany Azfar
  3. Tahun Terbit : 2014
  4. Penerbit : Grasindo, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
  5. Jumlah Halaman: 228 Halaman [Ucapan Terima Kasih, 32 Bab, Epilog, dan Halaman Tentang Penulis]

Saya membaca buku ini di versi digital-nya, yang saya akses secara gratis, di aplikasi iPusnas pada Oktober 2024. 

Novel ini sangat cocok untuk tipikal pembaca remaja yang sangat suka dengan cerita yang ringan dan sederhana. Namun, perlu ditegaskan: novel ini engga cocok untuk pembaca pemula! Apalagi pembaca yang udah capek banget dengan cerita yang Wattpadable.

Kenapa? Sebab, novel ini terlalu deskriptif dan terlalu banyak memberitahu—tidak ada korelasi, relevansi, hingga lebih mengarah ke melelahkan.

Review Novel “Prolog”.

Harus jujur saya katakan, bahwa novel ini sangat klise, hambar, melelahkan dan membosankan. Bukan, bukan karena selera bacaan saya atau karena bukan saya target pembacanya; tapi memang, novel ini sangat melelahkan untuk dinikmati, walau sebenarnya cerita yang disajikan sangat sederhana dan ringan.

Rasanya, seperti membaca sebuah naskah fanfiction yang ditulis oleh penggemar kebudayaan Korea garis keras; yang umum dijumpai di aplikasi membaca novel seperti Wattpad. 

Jika diingat-ingat, tahun 2014 memang trend-nya cerita seperti novel “Prolog” di aplikasi Wattpad.

Saya mengatakan demikian, karena pendapat saya ternyata selaras seperti yang ditulis oleh salah seorang di laman Goodreads, Riski Haryusari pada 3 September 2014 silam:

Konfliknya klise, ending-nya juga yah, gitu doang. Rasanya seperti sedang membaca fanfiction drama Korea yang nama dan setting-nya diubah jadi ala-ala Indonesia, tapi rasa drama Korea-nya masih kental banget. Jujur saja, cerita seperti ini sudah banyak yang ngangkat; sayang banget cara pembawaan cerita si penulis juga tak begitu membantu untuk membuatnya menjadi sesuatu yang istimewa dan beda.

Gak bisa dipungkiri, toh memang penulisnya sendiri; Adeliany Azfar di laman “Tentang Penulis” yang disajikan setelah epilog buku ini juga menjelaskan kalau beliau memang suka menonton drama Korea. Jadi, gak heran kalau novel “Prolog” memang seperti sebuah fanfiction drama Korea.

Baca Juga: Pengertian Prolog: Fungsi dan Perannya Sebagai Pembuka Cerita Novel.

Novel “Prolog” Bercerita Tentang Apa?

Secara sederhana, menurut versi saya setelah selesai membaca novel ini secara utuh; dan itu melelahkan sekali karena saya tidak menikmatinya, tapi saya berhasil menyelesaikannya. Ternyata, novel ini memiliki blurb ala-ala teenlit / teenfict pada umumnya.

Garis besar cerita dari novel “Prolog” ini mengangkat tema dan topik seperti persahabatan, jatuh cinta, gejolak jati diri, omong kosong remaja muda, kesedihan yang sulit dirasakan, hal-hal yang dianggap keren tapi sebenarnya engga juga, dan beban hidup yang sebenarnya biasa aja.

Tipikal teenfict, lah… dan tipikal klise.

Kalau menurut pendapat dari Jinshi Akassia, yang saya kutip dari laman blog-nya, mengungkapkan:

[Novel “Prolog” merupakan] … cerita romance yang penuh dengan gambaran tentang kesepian, kesedihan, dan kecemburuan yang tidak mudah diceritakan kepada orang lain.

Well, yeah~ but… whatever. Sepakat, sih. Sebenarnya idenya sederhana tapi … penceritaan-nya engga.

Mengupas Perangkat Sastra yang ada di Novel Prolog.

Perangkat Sastra yang dihadirkan dalam novel ini kurang dimanfaatkan secara baik. Khususnya di bagian-bagian seperti: opening-lines, foreshadowing, deskripsi, dialog, hingga footnote.

Opening-lines

“Selabintana menguarkan hawa pegunungan yang kental di pagi hari. Saat itu masih pukul 10. Matahari masih belum muncul—atau sudah—entahlah…” — paragraf pembuka ini masih menceritakan tentang cuaca yang mendung tapi tak hujan. 

Ketika saya membaca opening-lines di atas, saya benar-benar kebingungan memaknai kalimat pertamanya; apa itu “Selabintana”? Apa itu “menguarkan”, dan bagaimana Selabintana menguarkan hawa pegunungan yang kental? 

Alih-alih tertarik, saya malah teralihkan. Segera saya membuka KBBI untuk mencari maknanya dan membayangkannya. 

Hal seperti itu, sebenarnya sudah menunjukkan kalau opening-lines ini gagal membawa saya masuk ke dalam cerita; sebab, saya terdistraksi. “Keknya ini novel dengan bahasa tinggi, saya gak paham. Ahh, gak apa, deh. Belajar bahasa tinggi dari sini, deh.” Begitu pikir saya… tapi ternyata engga.

Simbol

Pada halaman tiga; perhatikan!

“… suasana di Selabintana menjadi murung, terutama bagi Nadi. Ia memandangi patung putri duyung yang diam tanpa ekspresi… 

… mungkin saat ini Nadi tidak ada bedanya dengan si Putri Duyung. Ya, patung itu sudah lama kehilangan kebebasan sejak dirinya dijadikan penjaga kolam.”

Tadinya, saya mengira kalau hal di atas akan dijadikan “foreshadowing” kelak. Namun, lupakan. Sebab, kita tidak akan membahas satu momen apapun lagi terkait si patung ini. Di lain sisi, saya juga tidak dapat menangkap makna simbolik seperti apa dari deskripsi di atas.

Apa maksudnya? Patung kan memang diam tidak berekspresi, lagipula… patung tersebut tidak diciptakan dari seekor(?) putri duyung yang dijadikan patung dengan proses diawetkan, kan?

Apakah sedang memberikan simbol kehilangan kebebasan? Nyatanya engga.

… dan sialnya, pada paragraf yang mendeskripsikan si putri duyung ini; akan kesedihan rakyat Neptunus karena kehilangan putri duyung yang dijadikan patung. Paragraf selanjutnya malah menyebut, “Nadi bukanlah Alice yang sedang berkhayal dan sedang tidak berada di Wonderland”.

Sungguh … tidak ada korelasi.

Deskripsi

Pada halaman 18, bab tiga. Bab ini dibuka dengan deskripsi seperti ini:

“Aroma santan dalam nasi yang dikukus merebak ke seluruh penjuru ruang. Aroma itu menyatu dengan gurihnya bawang goreng dan kerupuk udang”.

Overall, deskripsi di atas tidak ada keterkaitan apapun dengan kebutuhan cerita. Entah, kenapa harus nasi uduk? Apa makna dari nasi uduk? Tidak ada… deskripsi di atas, berhenti pada dialog yang kemudian dialihkan oleh page-break berbentuk bunga.

Page-break termasuk perangkat sastra juga, dan novel ini benar-benar dipenuhi dengan page-break dan tidak dimanfaatkan secara baik. Setiap bab, setidaknya ada 3-4 page-break.

Dialog

Hal yang paling melelahkan dari membaca novel teenfict, teenlit, atau fanfict adalah dialog-nya yang seabrek-abrekan. Pun demikian dengan novel Prolog. Melelahkan sekali. Well, tipikal novel genre ini adalah dialog-nya yang tidak bermakna, tidak berkesan, hingga tidak berkarakter.

Pada halaman 41, ada deskripsi yang menjelaskan kalau si protagonis, Nandita telah memasak sup daging dan kentang kukus—kenapa harus ini?—lalu dia berdialog dengan “Om-nya” yang baru tiba di rumah… “Aku gak tahu Om senang makan apa.” Dengan dialog tag yang menunjukkan kalau protagonis-nya cantik. 

Well, dialog terus dilanjutkan, om-nya pun melemparkan pujian. Kemudian, ada satu dialog yang menyinggung perihal eksistensi kompor, dan diikuti dengan paragraf naratif yang menjelaskan kalau Om Gie memang sengaja menggantikan kompor gas ke kompor listrik untuk Nadi… tapi, kenapa? Kenapa? Si Nadi ada apa dengan kompor?

Kalau dialog tidak ada korelasinya dengan pembentukan karakter, ya gak usah ditampilkan! 

Selain itu, dialog-nya juga tidak menunjukkan karakteristik tokoh. Penggunaan kata “lo-gue” menghancurkan minat saya karena novel ini menggunakan diksi yang lumayan perlu membuka KBBI.

Tipikal Wattpad banget.

Sekali lagi, setiap adegan dialognya banyak yang bantet karena page-break berbentuk bunga.

Footnote: Catatan Kaki.

Saya sepakat dengan pendapat salah seorang pembaca novel ini; Tiara Orlanda, yang saya kutip dari blog pribadi-nya, Bookishstory.

Sayangnya ada istilah Hiperventilasi yang muncul beberapa kali di buku ini tapi tidak ada footnote untuk penjelasan apa artinya.

… dan, yeah! Saya juga kebingungan dengan istilah seperti itu untuk novel yang menceritakan kisah anak remaja. Itu istilah kedokteran—terima kasih, novel Prolog—yang pada akhirnya saya tahu artinya ketika mencari di KBBI. Hahahaha!

Selain itu ada istilah “K7” dalam paragraf berikut:

“Siapa pun murid Ibu Pertiwi pasti tidak ada yang sudi disapa oleh guru K7 itu. Seperti ranjau yang akan meledak jika terinjak…”

Sungguh disayangkan, sih. 

Kesimpulan:

Saya pribadi menganggap novel ini bukan bacaan yang bisa dinikmati dengan mudah. Walau gagasan utama cerita ini sebenarnya sederhana. Lagipula, gaya bahasa-nya juga Wattpadable banget. 

Saya gak bermaksud mengatakan kalau cerita Wattpad itu kurang bagus, hanya saja; ada pakem atau kebiasaan yang “dilumrah”-kan di sana. Ya, kek page-break gitu.

Novel prolog menghadirkan perangkat sastra yang kurang dimanfaatkan secara bagus. Terkesan bantet dan cukup disayangkan.

Saya gak bilang kalau novel ini buruk; setiap novel pasti ada peminatnya masing-masing. Namun, bagi saya, novel ini tidak cukup enak untuk dinikmati. Tentu hal ini tidak dipengaruhi dengan selera bacaan saya, bisa jadi memang penulisnya masih tahap belajar ketika menulis novel ini.

Bibliografi:

  1. Riski Haryusari dalam komentar di laman Goodreads pada 2014, September 03. Diakses pada Oktober 2024.
  2. Akassia, Jinshi. [2019, Desember 21] dalam “[Review] Novel – Prolog (Adeliany Azfar)”, diakses pada Oktober 2024 dari laman blog jinshiakassia.
  3. Orlanda, Tiara. [2016, November 21] dalam “Book Review : Prolog oleh Adeliany Azfar”, diakses pada Oktober 2024, dari laman blog Bookishstory.

Hendy Jobers, seorang Pak RT di grup Facebook kepenulisan: "Ingin Menjadi Penulis. Namun, Enggan Menulis."

Posting Komentar

© Kepenulisan.com. Hak cipta. Developed by Jago Desain