Ketentuan yang diterapkan di situs kepenulisan.com dalam tautan berikut: Ketentuan

Ulasan Buku "Bukan Golongan Kami" Karya Coki Pardede dan Tretan Muslim.

"Bukan Golongan Kami" merupakan autobiografi berlabel fiksi yang ditulis oleh dua komedian kontroversial terkenal, Coki Pardede dan Tretan Muslim.

Ulasan Buku Bukan Golongan Kami 2019

Jika ditanya, “Apa buku paling buruk yang telah saya baca, dan saya menyesal telah membelinya di tahun 2024”. Maka, menyebut buku “Bukan Golongan Kami” merupakan jawaban yang tidak perlu pertimbangan.

Saya juga tidak yakin, apakah buku ini benar-benar ditulis oleh kedua tokoh tersebut; tapi saya yakin, cerita yang disajikan memang berasal dari kedua tokoh tersebut. Sebab, rasanya seperti saya pernah mendengar sekilas cerita-cerita yang disajikan di dalam buku ini pernah diceritakan juga di Podcast yang ada di YouTube, di mana mereka menjadi bintang tamu-nya.

Informasi Umum Buku “Bukan Golongan Kami”.

  • Judul Novel: Bukan Golongan Kami.
  • Penulis: Coki Pardede & Tretan Muslim
  • Penerbit: PT. Bukune Kreatif Cipta
  • Tahun Terbit: 2019
  • Genre: Fiksi
  • Jumlah Halaman: 208 Halaman
  • Penyunting: Edo
  • Penyelaras: Irsyad
  • Penata Letak: Erina Ps.
  • ISBN: 978-602-220-327-8

Saya membeli buku ini di toko buku online Republik Fiksi di Tokopedia seharga Rp. 20.000, sedangkan di label, harganya Rp. 77.000 untuk pulau Jawa.

Harga murah saya dapatkan karena promo di lokapasar Tokopedia dan lebih murah lagi karena saya membeli buku ini sepaket dengan buku-buku lain.

Baca Juga: Pengalaman Perdana Beli Buku di Toko Online Republik Fiksi, di Lokapasar Tokopedia.

Tadi saya katakan kalau ada penyesalan ketika membeli buku ini. Namun, saya tidak merasa rugi telah membelinya. Saya bangga, justru. Karena telah membeli buku original. Gak kayak si paling kritis yang bilang gak suka, tapi malah baca versi PDF bajakan.

Bahas Buku “Bukan Golongan Kami” saja, Bukan Penulisnya!

Saya mengutip kalimat dari halaman 95 versi Tretan Muslim dalam buku “Bukan Golongan Kami” yang sudah saya sunting untuk penyesuaian. Kira-kira, begini kalimatnya:

“... bebas aja kok orang mau buat konten yang kayak gimana. Tapi, sekali lagi, bebas juga orang lain mau buat penilaian kayak gimana.”

Nah, dari kutipan itu; sesuai kebebasan saya sebagai pembaca. Maka, saya katakan kalau buku ini merupakan omong kosong belaka. Namun, tentu saja; kebebasan saya menilai buku ini akan saya usahakan untuk tidak kebablasan, saya berusaha untuk tetap subjektif pada bukunya, bukan pada personal penulisnya—itu pun jika memang benar ditulis oleh mereka berdua.

Dengan begitu blog post ini hanya akan mengeksplorasi buku “Bukan Golongan Kami” saja, mengulas isinya, serta memberikan pandangan saya sebagai pembaca buku “Bukan Golongan Kami”. Artikel ini sama sekali tidak mengarah pada persona kedua penulisnya, meskipun harus saya akui; saya membeli buku “Bukan Golongan Kami” tentu karena terpengaruh oleh foto mereka yang terpampang di sampulnya.

Hal ini perlu saya tegaskan setelah apa yang saya dapatkan dari postingan yang telah saya publikasikan di grup kepenulisan INGIN MENJADI PENULIS. NAMUN, ENGGAN MENULIS; yang mempengaruhi saya dalam menulis blog post ini. Saya bahkan perlu pertimbangan agar tidak mendapatkan reaksi buruk, lagi.

Ingin Menjadi Penulis. Namun, Enggan Menulis

Sinopsis Buku "Bukan Golongan Kami": Menurut Saya...

"Bukan Golongan Kami" menceritakan kisah tentang kehidupan yang pernah dilalui oleh kedua tokoh: Coki Pardede dan Tretan Muslim di masa muda mereka, sebelum gabung stand-up, dan setelah kontroversial memasak daging babi-kurma; dengan sudut pandang yang tidak mencerminkan sosok keduanya, sama sekali.

Dalam laman website Bukune, dijelaskan bahwa buku ini merupakan kumpulan tulisan keresahan dari kedua tokoh tersebut.

Alih-alih keresahan, kebanyakan malah menceritakan pengalaman hidup; yang harapannya, dengan membaca buku ini, para pembaca dapat memahami lebih dalam akan eksistensi kedua tokoh tersebut dalam berkomedi di ranah stand-up comedy.

Ya, tipikal autobiografi banget, lah. Hanya saja… buku ini berlabel fiksi. Jadi, apa yang disajikan di dalam buku “Bukan Golongan Kami” bisa dikatakan sebagai “omong kosong”. Sebab, bisa saja, apa yang tertulis merupakan informasi yang tidak benar-benar eksis.

Bukan Golongan Kami

Buku “Bukan Golongan Kami” mengangkat topik seperti persahabatan, kepercayaan, dan perjuangan hidup dengan pendekatan yang tidak ada sisi humorisnya sama sekali.

Tidak ada sisi humornya sama sekali membuat saya yakin, kalau buku ini sebenarnya memang bukan untuk saya. Bisa jadi, saya adalah memang “Bukan Golongan Mereka”. Namun, jujur saja: memang gak ada humor-sense-nya sama sekali.

Sumpah! Saya tipikal orang yang receh, tapi beneran! Buku “Bukan Golongan Kami” memang gak ada komedi-nya, bahkan komedi-gelap yang menjadi ciri khas mereka pun tidak ada.

Tokoh-tokoh dalam buku ini digambarkan dengan karakteristik yang menghadapi konflik-konflik mereka dalam kehidupan nyata. Namun, saya kurang yakin; karena gaya bahasa yang digunakan tidak menggambarkan kedua penulisnya, dan buku ini sendiri sebenarnya dilabeli fiksi.

Buku Bukan Golongan Kami

Tema Utama “Bukan Golongan Kami”: Menceritakan Tentang Apa?

Tema utama yang diusung dalam "Bukan Golongan Kami" adalah keberagaman dan penerimaan. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat perbedaan sebagai sesuatu yang harus lumrah, bukan dihindari; disajikan dalam cerita pengalaman yang dihadapi penulisnya ala-ala autobiografi. Namun… ini fiksi.

Gembar-gembor keinginan Coki Pardede ingin merasakan jadi mayoritas, dan Tretan Muslim yang ingin merasakan jadi minoritas: nyatanya tidak terlalu menjadi benang merah.

Melalui buku “Bukan Golongan Kami”, Coki dan Tretan ingin menyampaikan pesan penting tentang toleransi dan pentingnya menghargai perspektif orang lain—lebih tepatnya, perspektif mereka berdua.

Bagi saya, buku ini gagal menyampaikan pesan-pesan tentang toleransi, keberagaman, dan penerimaan; sebab, beberapa hal dihidangkan dengan keraguan; dan sekali lagi, ini adalah buku fiksi.

Hal yang Mengherankan dari Buku "Bukan Golongan Kami".

Hal yang mengherankan dari buku “Bukan Golongan Kami” adalah terlalu banyak omong kosongnya. Buku ini berlabel fiksi, tapi menceritakan sesuatu yang disebut sebagai keresahan si penulis. Maksud saya… di mana sisi fiksinya?

Saya kira, dengan dilabeli fiksi. Buku ini akan berani berisi dark-comedy, insults jokes, atau sarcasm. Namun, nyatanya tidak! Mereka malah menceritakan pengalaman hidup! Latar belakang keluarga, kehidupan sebelum gabung SUCI, MLI, dan Kontroversi Memasak Babi-Kurma.

Label fiksi seharusnya dapat digunakan sebagai tameng; bahwa apa yang terkandung di dalamnya hanya fiksi belaka. Saya kira, buku ini akan mem-fiksi-kan dark-comedy, insults jokes, atau sarcasm; bahkan sisi tepi jurang, dari pengalaman dan pemikiran kedua penulisnya. Nyatanya... tidak.

Padahal, buku ini tidak ditulis di tahun di mana salah seorang penulisnya direhabilitasi aparat hukum, karena kasus penyalahgunaan zat adiktif.

Yah, sepertinya saya terlalu berekspektasi; juga, mungkin saja memang saya ini bukan golongan yang dimaksud. Dengan kedua foto mereka di sampul dan bagian tengah buku, saya kira buku ini akan lucu atau setidaknya ada unsur-unsur komedi.

Komedi dan ketersinggungan juga dibahas Coki Pardede dalam perspektifnya. Dia menjelaskan, bahwa esensi komedi adalah membahas keresahan umum dengan cara yang lucu. Akan tetapi, buku ini tidak berhasil membahas keresahan umum dengan cara yang lucu—bahkan dengan cara yang menarik.

Walau tidak lucu bagi saya—dan tidak menarik—buku “Bukan Golongan Kami” juga tidak berhasil menyinggung saya. Dengan begitu, dua komedian ini sepertinya tidak berbakat menulis buku komedi, atau jangan-jangan: buku ini memang tidak ditulis oleh kedua komedian tersebut.

Saya gak Suka Buku "Bukan Golongan Kami", Karena…

Layout bukunya terlalu bocah. Buku ini sepertinya memang dikhususkan untuk orang-orang yang tidak terlalu gemar membaca.

Saya paham, tampilan layout seperti itu rasanya ingin membangun suasana buku yang seru dan tidak monoton, juga agar pembaca tidak bosan. Namun, saya pribadi kurang nyaman. Well, ini hanya perihal kenyamanan pribadi saja. Orang-orang mungkin senang, tapi saya tidak.

Di bagian tengah buku—jika memulai membaca dari sisi kiri—sudut pandang berganti ke sisi Tretan Muslim. Ternyata bagian ini tidak melanjutkan apa yang telah dibahas Coki Pardede. Pembaca harus mulai membuka lembar pertama di sisi kanan buku dari awal. Sialnya, tidak ada pemberitahuan!

Buku Bukan Golongan Kami oleh Tretan Muslim dan Coki Pardede

Perubahan itu terjadi setelah 7 halaman berlalu, 5 pokok pembahasan tuntas diceritakan. Kebingungan baru terasa setelah karikatur mereka muncul, dan saya menyadari keanehan setelah membaca sepuluh halaman. Fokus saya langsung buyar dan mood membaca langsung hancur.

Pendapat Pribadi dan Rekomendasi.

Secara pribadi, "Bukan Golongan Kami" adalah sebuah karya yang menyenangkan dan ringan. Akan tetapi, masih ada banyak typo. Saya tidak memiliki hal-hal spesifik yang membuat saya suka dengan buku ini; sebab, tak banyak hal yang dapat dinikmati, dan membingungkan karena “autobiografi berlabel fiksi”.

Buku ini tidak cocok untuk saya yang berharap ada dark-comedy, insults jokes, dan sarcasm terkandung di dalamnya. Saya tidak merekomendasikan buku “Bukan Golongan Kami” jika kamu ingin mendapatkan pemikiran, keresahan, atau cerita yang eksklusif.

… dan, perlu saya tegaskan; bahwa apa yang tertuang dan dituangkan di dalam buku “Bukan Golongan Kami” sudah tidak relevan untuk dinikmati lagi.

Saya berharap, buku ini akan mendapatkan pembaruan agar menjadi relevan, atau lanjutan dengan pembahasan yang lebih eksklusif. Semoga saja jika benar-benar diperbarui, atau dilanjutkan; buku ini benar-benar disajikan lebih lucu, walaupun tidak ada dark-comedy, insult jokes atau sarcasm-nya sama sekali.

Kesimpulan: “Bukan Golongan Kami” untuk Golongan Siapa?

"Bukan Golongan Kami" adalah sebuah karya tulis yang tidak relevan untuk dikonsumsi di tahun ini dan tahun yang akan datang jika tidak ada pembaruan.

Saya kira, anak SMP atau orang-orang yang tidak pandai mengonsumsi buku akan sangat cocok dengan buku ini; juga golongan orang-orang sial yang berekspektasi seperti saya.

Saya sebagai pembaca tidak mengatakan buku ini buruk; hanya saja, buku ini tidak sesuai dengan ekspektasi saya yang berharap ada dark-comedy, insult jokes, atau sarcasm di dalam “yang katanya” keresahan penulisnya.

Alih-alih “buku komedi yang ditulis komedian”, buku ini lebih layak dikategorikan sebagai “buku sapi perah yang ditulis oleh komedian yang viral dari kontroversi-nya”.

Hendy Jobers, seorang Pak RT di grup Facebook kepenulisan: "Ingin Menjadi Penulis. Namun, Enggan Menulis."

Posting Komentar

© Kepenulisan.com. Hak cipta. Developed by Jago Desain