Shishōsetsu merupakan genre sastra Jepang yang menggambarkan jenis “Sastra Pengakuan”, di mana di dalam ceritanya mengisahkan peristiwa yang berkaitan dengan pengalaman si penulisnya.
Shishōsetsu bisa dikatakan sama seperti autobiografi, hanya saja; keduanya merupakan genre sastra yang berbeda. Shishōsetsu merupakan karya fiksi sedangkan autobiografi merupakan karya non-fiksi.
Dalam artikel ini, saya akan memperkenalkan genre shishōsetsu, pemahaman tentang sastra pengakuan dan perbedaannya dengan autobiografi.
Mari memulainya dari …
Shishōsetsu
Shishōsetsu atau watakushi shōsetsu (私小説), yang jika diterjemahkan ke bahasa Inggris disebut sebagai “I Novel”, atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, disebut sebagai “Novel Saya”.
Secara makna, dilansir dari Britannica; I Novel (shishōsetsu) merupakan bentuk genre sastra Jepang abad ke-20 yang memiliki ciri-ciri di mana berisikan narasi pengungkapan diri, yang tokoh sentralnya adalah si penulis itu sendiri, berkaitan dengan pengalaman hidup si penulis.
Shishōsetsu masih memiliki kebebasan untuk mengubah detail demi artistik.
Shishōsetsu sebagai Sastra Pengakuan:
Sastra pengakuan (confessional literature) adalah genre sastra yang berfokus pada pengalaman pribadi, perasaan, dan refleksi batin penulis.
Karya-karya ini seringkali menggunakan pengalaman hidup nyata si penulis sebagai sumber inspirasi utama. Namun, perlu diingat bahwa sastra pengakuan bukan autobiografi yang harus 100% akurat secara faktual.
Ciri-ciri Sastra Pengakuan di antaranya:
- Menggunakan Sudut Pandang Orang Pertama
- Berfokus pada Kehidupan Batin
- Berkaitan dengan Kejujuran dan Keterbukaan
- Gaya Naratif yang Introspektif
Persamaan dan Perbedaan antara Shishōsetsu dengan Autobiografi
Secara makna, Autobiografi merupakan karya tulis yang menceritakan kisah hidup penulis sendiri secara faktual dan tetap mementingkan akurasi.
Dari sisi persamaan, keduanya sama-sama ditulis dengan sudut pandang orang pertama, dan sama-sama berdasarkan pengalaman hidup si penulisnya sendiri.
Sedangkan perbedaan di antara keduanya; tentu sudah jelas! Shishōsetsu merupakan karya fiksi, sedangkan autobiografi merupakan karya non-fiksi.
Tak hanya itu, fokus pada shishōsetsu hanya pada penggambaran kehidupan batin di penulisnya, sedangkan autobiografi fokus pada kejadian dan peristiwa eksternal.
Rekomendasi dan Contoh Karya Shishōsetsu
Berikut adalah beberapa contoh karya sastra Jepang yang saya anggap termasuk dalam genre shishōsetsu. Di kesempatan ini, saya membaginya menjadi tiga klasifikasi:
Shishōsetsu Klasik:
Kokoro (Rahasia Hati) tahun 1914 oleh Natsume Sōseki: Menceritakan kisah seorang pria yang merenungkan masa lalunya dan hubungannya dengan seorang wanita yang sudah meninggal.
Sumber Image: Google Play Book |
Shishōsetsu Modern:
Ningen Shikkaku (Gagal Menjadi Manusia) tahun 1948 oleh Osamu Dazai: Menggambarkan kisah seorang pria yang terasing dari masyarakat dan terperosok dalam depresi dan alkoholisme.
Sumber Image: Wikipedia |
Shishōsetsu Kontemporer:
Konbini Ningen (Gadis Minimarket) tahun 2016 oleh Sayaka Murata: Mengisahkan seorang wanita berusia 36 tahun yang bekerja di toko serba ada dan merasa puas dengan hidupnya yang sederhana dan terisolasi.
Sumber Image: Google Play Book |
Penutup:
Shishōsetsu, autobiografi, dan sastra pengakuan merupakan genre sastra yang kaya dan beragam yang menawarkan berbagai perspektif tentang pengalaman manusia.
Memahami perbedaan dan persamaan antara genre-genre ini dapat membantu pembaca untuk lebih menghargai karya-karya sastra dan memahami kompleksitas kehidupan manusia.
Saya menulis artikel ini untuk menjawab beberapa pertanyaan yang saya dapatkan di Grup Kepenulisan di Facebook: INGIN MENJADI PENULIS. NAMUN, ENGGAN MENULIS. Di grup tersebut, saya sering mendapati pertanyaan yang berbentuk:
“Boleh gak sih menulis fiksi dari pengalaman pribadi?” Sebab, yang mereka tahu, fiksi itu merupakan cerita rekaan yang gak harus dari pengalaman si penulisnya.